Selasa, 15 November 2011

Nilai islam ga ada di negara berlabel islam...

Keislaman Indonesia
KOMPAS | Sabtu, 5 November 2011 | 09:03 WIB
Oleh : Komaruddin Hidayat,
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sebuah penelitian sosial bertema ”
How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
“Kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah ”
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalo orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab”, katanya.
Kalo saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak dimana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang kemudian dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan Hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tidak merata, persamaan hak bagi setiap warga Negara untuk memperoleh pelayanan Negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneiliti itu menyimpulkan:
… it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and government policies.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistam (147), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Setikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya atau pada sistem pemerintahnya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penilitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.
Semarak dakwah dan ritual
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tidak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam – shahadat, shalat, puasa, zakat, haji – dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: kelimuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi jika ada pertanyaan:
How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan Hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. ***

Selasa, 01 November 2011

TREN DAN VARIASI INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE PADA PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PERBANKAN DI EROPA

TREN DAN VARIASI INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE
PADA PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PERBANKAN DI EROPA


Ascaryan Rafinda
Bambang Agus Pramuka
Poppy Dian Indira Kusuma

Universitas Jendral Soedirman



The objectives of this study are: (1) to identify trend on the volume of Intellectual Capital (IC) disclosure, and (2)to measure variation on the volume of IC disclosure on the annual report of banks that operate in Europe. Using purposive sampling method, the sample consists of 6 banks with highest rank of market value in different countries in Europe. Including in the sample are BNP Paribas (France), Banco Santander (Spain), Intesa Sanpaolo (Italy), UBS (Switzerland), Deutsche Bank (Germany), and ING Group (Netherlands).
Data were analyzed using trend least square to identify the trend of IC disclosure. ANOVA test was employed to measure the differences in the volume of IC disclosure among banks.
The result of this study revealed that 5 of 6 banks show positive trends on the volume of IC disclosure. The result also showed that there are variations on external and human capital disclosure among 6 banks while otherwise for internal capital disclosure.
The result implied that a global standard which is principle based in nature may cause variations in the IC disclosures in European Banks. It suggests that the regulator should set standard for voluntary reporting to minimize the variation on the format and content of the report and to eventually diminish asymetry information between agent and principal.

Keywords : intellectual capital, internal capital, external capital, human capital, disclosure, variation, trend.