Rabu, 03 November 2010

Pendidikan di Indonesia vs Pendidikan di Amerika

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia ,” jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.

Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

4 komentar:

Anonim mengatakan...

kmu seneng nulis ya? leh kenal ga? ^^

ascaries mengatakan...

baru kemarin menikmatinya, :)
ada yg bs dibantu?

Anonim mengatakan...

ngomongin pendidikan emang ga ada habisnya. dulu jamannya nenek kakek dan ortu qta mgkin masih ngalamin jamannya yang namanya guru itu adalah orang yang galak, yang paling bener untuk di gugu lan ditiru, dan kata nenek gw juga guru jaman dlu emg galak2..killer abis n klo ngasih hukuman pake fisik.
mana bisa anak kecil (umur sekolah) dididik dengan penuh tekanan dan rasa takut... ga ngerjain PR krna takut dimarahin guru.. ya klo bgtu outputnya adalah anak2 yang ngerasa pendidikan itu sebatas kewajiban mereka, hanya menuntaskan kewajiban saja. Namun, esensi pendidikan sebenarnya adalah kebutuhan kita kan? bukan hanya sekedar kewajiban.

Perlu di highlight disini (klo perlu distabiloin) kalo peran guru sangatlah penting. Yah..guru qta yang menurunkan ilmu kepada qta, guru harusnya adalah orang yang "terpilih" sebagai penyalur ilmu dan motivator kepada anak didiknya. Namun, sepertinya sekarang profesi sebagai guru bukanlah sesuatu yang beken lagi.. minat terhadap profesi guru yang mulai berkurang, orang2 muda dan berbakat lebih memilih jadi pegawai di perusahaan swasta yang beken.

Kriteria orang yang dijadikan sebagai guru, bukan hanya dia yang menguasai materi tapi juga bisa memaintance semangat dan motivasi siswa.

Mungkin pada proses seleksi guru yang seharusnya lebih diperketat dan mencakup semua aspek yang dibutuhkan. Kalo perlu seleksi penerimaan guru dibuat beberapa tahap. Perusahaan swasta aja klo mau recruit pegawai sampe 5-6 tahap, karena mereka benar2 mencari orang2 yang terbaik untuk perusahaannya. Kenapa qta g gtu? inget loh, guru tuh memegang peranan penting dalan pendidikan dan satu PR lagi..jadikanlah profesi guru sebagai profesi yang membanggakan. Bukan hanya penyampai materi, melaikan juga menanamkan mainset kepada siswanya untuk menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah kebutuhan qta. -mcu

ascaries mengatakan...

input yg bagus, seleksi guru / tenaga pengajar harus lengkap juga ya, TPA, Tofel, Psikotest,micro teaching, validasi akademik, interview gmn? *lbh banyak dari seleksi BUMN.

apakah dengan menaikan gaji guru bisa meningkatkan "branding" guru di mata masyarakat, krn setauku biasanya suatu job dikatakan beken ketika salary-nya diatas rata2 kan? (CMIIW).

sekarang udah ada program sertifikasi guru semoga itu bisa memotivasi guru biar lebih berkualitas dan semangat menjalani profesinya...

*anw bisa juga salah satu penyebab guru kurang profesional krn salary nya, mereka jadi kdu mikir buat cari uang tambahan diluar sekolah, dampaknya ngajarnya ga maksimal biar nnti dipromosikan bahwa mreka buka les private. :P
(itu dampak low salary, for materill teacher).:P

Gimana cara motivasi siswa biar semangat belajar?
*siswa kan ngerasa semangat n seneng klo ngerasa bisa mengerjakan tugas / ujian yg diberikan guru, cara bkin mreka semangat brarti hargai stiap effort yg keluar dr siswa, ky crita diatas jng menilai siswa bases on our ability, tp based on they ability. so we can appreciate everything they have done... how..?

*agree/not?